Pages

Minggu, 07 Oktober 2012

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits Dan Hadis al-Mukhtalif




Abstrak: makalah ini mencoba menjelaskan tentang ilmu mukhtalif al hadits dengan mengutip contoh Hadis yang dianggap bertentangan, dan peran ulama dalam menjelaskan Hadis-hadis al-Mukhtalif

A.    Definisi Ilmu Mukhtalif Al-Hadits Dan Hadis al-Mukhtalif
Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek) dari kata اختلافا yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan كل مالم يتساو (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141: وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ (pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya)[1]. Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna di antaranya, تعارض (bertentangan)[2]. تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang). Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada intinya ikhtilâf mengandung dua makna, yaitu, تعارض dan تنوع .
Secara istilah Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya[3].
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ialah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[4].
Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain[5]
B.     Sejarah petumbuhan dan perkembangan ‘Ilm Mukhtalif al-Ḥadīth

Para ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadits dan musykil al-hadits ini sejak masa para sahabat Rasul Saw, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah  Rasulullah Saw, wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengompromikan antara hadits yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik[8].

C.    Ulama hadis yang berperan dalam perkembangan ‘Ilm Mukhtalif al-Ḥadīth
Diantaranya,
Ø  Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204)
Ø  Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276)
Ø  Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321 H)
Ø  Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H

D.    Kitab-kitab yang membahas ‘Ilm Mukhtalif al-Ḥadīth
Banyak ulama yang menyusun karya dalam bidang ilmu ini. Ada yang mencakup hadits-hadits yang tampak bertentangan secra keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadits-hadits yang tampak kontradiktif atau hadits-hadits yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan itu dengan menjelaskan maksudnya. Kitab-kitab yang membahas Mukhtalif al-Hadits diantaranya,
kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204), dan merupakan kitab terklasik yang sampai saat ini masih dijadikan pegangan. Beliau tidak bermaksud menyebut semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukan agar dijadikan sebagai sampel oleh ulama lain[9].
Setelah karya asy-Syafi’i, karya yang terpopuler antara lain kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276). Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadits yang melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadits-hadits yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadits-hadits itu. Kitab beliau ini menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain[10].
kitab Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H, dan kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.
E.     Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
  1. Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
  2. Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
  3. Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembangan[11].

F.     Metode penyelesaian al-Aḥādīth al-Mukhtalifah

Imam Syafi’i telah merumuskan sikapnya terhadap hadis mukhtalif sebagai berikut :
1.       Apabila dua hadis itu salah satunya mempunyai makna yang menyerupai makna hadis yang diriwayatkan olehsahabat besar dan para mufti pada suatu negeri, maka hadis itu yang diutamakan menjadi hujjah.
2.       Dua hadis yang menurut lahirnya tidak terdapat cacat, adalah lebih baik diutamakan dijadikan hujjah,daripadasebuah hadis yang memiliki cacat.
3.       Hadis yang mempunyai makna dengan kitab Allah, lebih diutamakan dijadikan hujjah daripada hadis yang tidak demikian.
4.       Hadis yang diriwayatkan oleh orang terkenal dari segi isnad, ilmu dan hafalan, lebih diutamakan daripada yang lain[12].
5.      Apabila hadis itu sesuai maknanya dengan pendapat mazhab yang menyerupai makna Alquran atau menyerupaimakna Sunnah Rasul yang lain, dapat pula sesuai dengan pengetahuan ulama terkenal atau qiyas yang lebih sahih,maka hadis itu lebih utama dijadikan hujjah

Metode al-Jam’u wa at-Taufiq

Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarji(mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةًاختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i).

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR Asy-Syafi’i).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :
قَالَ الشَّافِعِيُّوَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِمُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُأَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌاختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)10“.

Pemahaman Konstekstual
Sebagai contoh diambil Hadîts tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.[13]
Hadis lain yang diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ[14]
Dalam Hadîts pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadîts kedua justeru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa Hadîts pertama tidak bertentangan dengan Hadîts kedua karena Hadîts pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya[15]. Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadîts pertama[16].
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama. Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadîts pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah[17]. Hal ini menggambarkan bahwa konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
Kontekstualisasi Hadis
Dari penjelasan hadis diatas dapat kita ambil hikmah pada masa sekarang ini ditengah pergaulan yang kian jauh dari ajaran agama, Khususnya pada masalah pinangan seorang lelaki. Seorang wanita harus tegas dalam memutuskan, menerima atau menolak lamaran seorang pria. Jika memang tidak begitu menyukai atau mencintai lebih baik jangan mengambil keputusan telalu dini agar kiranya bisa lebih matang dalam memutuskan sebuah masa depan yaitu pernikahan Kelak.



[1] Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr al-Afriqiy al-Mishriy, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr Fikr, 1990), Jilid IX, h. 91
[2] Secara bahasa kata تعارض merupakan mashdar dari kata عارض yang berarti: تضاد (berlawanan) dan تباين (saling berjauhan). Secara istilah, Lois Ma’lûf mengartikan dengan تضاد بين شيئين يبرز أحدهما الأخر (dua hal yang saling berlawanan yang menimbulakan perbedaan antara satu dengan yang lainnya) .Lihat: Lois Ma’lûf, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, (Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994), 966
[3] ://insansejati.com/ilmu-hadits/19-mukhtaliful-hadits.html
[4] Ajjaj Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Cet. Ke-6, hal. 283, dalam Buku Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
[5] Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beeirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayyin, tt), hal.111
[6] Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
[7] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[8] Lihat Nasy’ah Ulum al-Hadits, hal. 247, dalam Buku M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits, op.cit.
[9] dicetak di bagian margin kitab al-Umm, juz VII dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit.,
[10] Lihat Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, hal. 433-434 dalam Buku M. Ajaj al-Khathib.op.cit
[11] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[12] http://ml.scribd.com/doc/32717630/hadis-bertentangan
[13] Muslim, op. cit., h. 347
[14] Ibid. h. 374
[15] Muhammad Ibn Idris al-Syafi’iy, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts (selanjtnya disebut dengan al-Syafi’iy, Ihktilâf al-Hadîts), (Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985), h. 247-248
[16] Edi Safri, op. cit., h. 107
[17] Ibid. h. 107-108

Pengikut